4 Perbedaan Terbesar Orang Indonesia dan Amerika – Part 2
Post ini merupakan kelanjutan dari post 4 Perbedaan Terbesar Orang Indonesia dan Amerika.
Setelah menganalisis lebih dalam lagi dari berbagai sudut pandang, maka
saya mendapati 4 perbedaan besar lagi. Baiklah, langsung saja, tanpa
basa-basi lagi….
- WOI! Disuruh turun, ya turun!
Berbeda dengan orang Indonesia yang kukuh dengan egonya saat menjabat
sebagai orang penting, orang Amerika lebih memilih turun dari jabatan
saat rakyat sudah muak dengan mereka. Kalaupun mereka tidak mau turun,
yang ada rakyat ramai-ramai mendatangi rumahnya dengan obor dan pitchfork,
partai oposisi menghujat dengan keras, dan dikejar pembunuh bayaran.
Orang Indonesia, di pihak lain, sangat menikmati waktunya saat duduk di
kursi enak. Sebagai contoh saja, Nurdin Halid. Dia merupakan contoh yang
sangat bagus yang menunjukkan bahwa orang Indonesia sangat susah
melepaskan diri saat mendapat fasilitas enak. Meski sudah didemo
berkali-kali, asetnya ditarik, dan berkelit dengan badan dunia, ia tetap
tidak mau turun dari jabatannya, karena sudah tidak bisa melepaskan
diri dari pengaruh kekuasaan. Kita sebenarnya tidak perlu membandingkan
diri jauh-jauh ke Amerika. Saudara kita yang lebih dekat, Jepang, malah
punya rasa malu lebih besar dari diri kita.
- Lebih enak jadi atlet atau cendekiawan?
Seperti yang sering kita dengar, Indonesia berlangganan juara Olimpiade.
Jangan salah, setiap Olimpiade Sains Internasional, Indonesia pasti
menghasilkan juara yang banyak. Sebagai Liasion Officer pada
International Conference of Young Scientists yang sempat diadakan di
Bali pada tanggal 12-17 April 2010, saya melihat sendiri bagaimana tim
Indonesia merebut hampir 20an medali emas dari negara-negara lain.
Sungguh prestasi yang hebat dari kaum cendekiawan kita. Setelah menang
Olimpiade Sains, apa yang terjadi dengan pemenangnya? Ia akan ditawari
masuk universitas negeri ternama di Indonesia dengan janji beasiswa,
dimana ia bisa melanjutkan kariernya atau penelitiannya.
Sekarang kita lihat negara Paman Sam. Saya jarang sekali mendengar
berita bahwa ada siswa SMA Amerika mendapat juara Olimpiade Sains
Internasional. Yang lebih sering saya dengar adalah atlet football SMA
mendapat beasiswa penuh masuk Stanford atau Yale. Sekedar informasi,
sangat susah mendapatkan beasiswa penuh di Amerika, kecuali anda memang
sangat, sangat berprestasi dan memiliki nilai SAT yang tinggi. Dan
nanti, atlet berbakat ini akan bermain Major League Football dalam tim
negara bagiannya, mewakili negara bagiannya, bak seorang pahlawan.
Keduanya merupakan prospek yang bagus. Tapi, sekarang kita lihat kelemahannya.
Kebanyakan pemenang Olimpiade Sains hampir tidak dikenal oleh masyarakat
luas. Nama mereka hanya mencuat sesaat saat mereka naik ke panggung dan
menerima penghargaan. Jarang saya dengar orang awam menyebutkan nama
pemenang OSN Komputer tahun lalu.
Lalu, kasus seorang atlet. Jika anda berkunjung ke negara bagian tempat
ia dibesarkan, tanyalah pada seorang warga, kemungkinan besar dia akan
tahu nama pemain football dalam timnya. Di Amerika, atlet mendapat
penghargaan dari masyarakat biasa karena mereka merasa ia bak seorang
hero yang berjuang demi negara bagiannya. Jeleknya, saat ia kalah
tragis, ia akan jadi bahan cemoohan rakyatnya dan mungkin bisa
dikeluarkan dari tim.
Jadi, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi, perbedaan yang paling jelas adalah tingkat penghargaan yang diberikan.
- Apa kamu punya nyali?
Mungkin sudah menjadi kebiasaan turun-temurun bahwa orang Indonesia
adalah orang yang agak malu-malu, kecuali pejabat kita yang tebal muka.
Biasanya, orang Indonesia suka mencari aman. Seperti bekerja sebagai
PNS. Alasannya, karena hidupnya ditanggung negara, bisa dapet fasilitas
lumayan, dan masa pensiun terjamin. Mungkin hal ini yang menyebabkan tes
CPNS semakin ramai saja.
Coba kita cek ke Amerika. Paham kapitalis membuat segalanya menjadi
mungkin. Kalau anda lihat, lebih banyak orang Amerika bekerja dalam
sektor swasta, bukan negeri. Coba anda lihat Microsoft, IBM, dan masih
banyak lainnya. Microsoft didirikan oleh Bill Gates yang putus sekolah,
tetapi lihat OS yang anda pakai sekarang (yang tidak memakai Windows,
jangan dihiraukan). Orang Amerika lebih berani menghadapi resiko dibandingkan orang Indonesia. Kebanyakan orang Amerika lebih memilih menjadi entrepreneur daripada bekerja di bawah pemerintah. Malah, terkadang, PNS bisa hidup lebih menderita daripada pegawai swasta.
Kalau di Indonesia, pekerjaan PNS lebih banyak dicari, dan sektor swasta
kita serahkan pada investor asing yang memang lebih berani daripada
kita (dan mempunyai sumber daya lebih).
Contoh lainnya yang lebih ringan adalah keberanian orang Amerika mencoba
hal-hal yang dianggap gila oleh kita, tetapi mereka bisa melakukannya
meski gagal. Mungkin istilah kerennya “jackass”
- Apa ada pertanyaan????
Siswa Indonesia cenderung lebih malu bertanya kepada gurunya saat
menemui kesulitan di kelas. Karenanya, gurunya harus mempersiapkan bahan
ajar lebih banyak. Sebenarnya, sifat ini sudah biasa di Indonesia.
Orang Indonesia memiliki harga diri yang cukup tinggi. Dan mereka tidak
mau harga diri itu menurun hanya karena bertanya kepada guru saat
temannya sudah mengerti semua. Mereka takut diberikan cap “bodoh,
lamban, dungu” oleh teman-temannya, meski tidak secara eksplisit. Karena
itulah, kebanyakan siswa Indonesia enggan bertanya pada gurunya saat
pelajaran. Mereka lebih memilih menemui guru tersebut di luar jam
pelajaran sendirian.
Berbeda dengan siswa Indonesia, siswa Amerika jauh lebih aktif
dibandingkan siswa Indonesia. Dalam pelajarannya, guru selalu
menyempatkan sebuah sesi tanya jawab seusai menjelaskan materi. Dan
siswa selalu bertanya apapun yang tidak ia mengerti. Hal ini bagus
karena menambah komunikasi antara guru dan siswa, menambah pengetahuan
mereka, dan melatih kepercayaan diri dan keaktifan siswa. Perbedaan yang
jelas terlihat di sini adalah perbedaan rasa ingin tahu siswa.
Siswa Indonesia cenderung merasa cukup apabila sudah menguasai isi
suatu bab dengan baik. Di luar itu, tidak akan berguna, karena tidak
akan keluar dalam Ujian Nasional. Jadi, ia merasa cukup hanya mengetahui
yang ada di buku saja. Siswa Amerika, di pihak lain, sangat penasaran
dengan macam-macam. Hal ini mendorongnya bereksplorasi lebih jauh
daripada di buku. Untuk memuaskan rasa ingin tahunya, mereka rajin
mengunjungi perpustakaan dan lebih sering bertanya pada gurunya.
No comments:
Post a Comment